Pukul 14.05 tepat saat ini, dan saya miris menyaksikan, mendenger, melihat berbagai pemberitaan tentang apa yang sedang terjadi di Indonesia, di Jakarta, di luar dan di dalam gedung para dewan yang -katanya- terhormat.
Saya mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi tapi tak jua berhasil. Entah karena saya yang terlalu bodoh. Entah mereka-mereka yang -katanya- terhormat itu terlalu pintar. Entah para pemuda (baca: Mahasiswa) itu terlalu berani mati -konyol-. Entahlah. Yang pasti saat ini di Indonesia, di Jakarta, di luar dan di dalam gedung para dewan yang -katanya- terhormat itu terjadi sesuatu yang tidak terhormat.
Lalu saya teringat sebuah kutipan dari buku yang baru saja selesai saya baca:
"Antara mahasiswa 1960-an dan generasi setelahnya ada persamaan dan perbedaan. Persamaannya, mahasiswa tetap menjadi kekuatan moral politik yang amat kuat. Mahasiswa begitu di elu-elukan saat terjadinya gerakan, namun dicampak setelah gerakan itu berhasil menumbangkan rezim yang tiran. Persamaan lainnya, tidak sedikit mantan mahasiswa yang kemudian terjun ke politik praktis mendulang nikmatnya kekuasaan. Perbedaannya, para aktivis mahasiswa masa lalu mendasarkan aktivitasnya dari bacaan-bacaan yang amat kaya, sedangkan mahasiswa pasca 1970-an lebih mendasarkan pergerakannya pada gegap langkah yang kadang miskin akan ide untuk memberi arah bagi Indonesia masa depan" (Ikrar Nusa Bhakti; Soe Hok Gie - Sekali lagi.., hal. 316)Kemudian saya jadi terkekeh sendiri, membayangkan dahulu para pendemo dan yang didemo itu sama pintarnya sedangkan sekarang pendemo dan yang didemo sama-sama bodohnya, sama-sama tidak bermoralnya. Miris.
Ah, sudahlah, lama-lama pusing juga saya memikirkannya. Toh apapun yang terjadi dengan Indonesia, saya sudah terlanjur mencintai negara ini. Mencintainya dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dan sampai kapankkun saya akan tetap bangga lahir dan besar di 6 LU - 11 LS, 95 BT - 141BT = INDONESIA.
Untuk mengakhiri tulisan -ngawur- saya ini, ijinkan saya menyalin sebuah puisi dari Soe Hok Gie, seorang yang amat sangat saya idolakan -semoga bukan merupakan kultus individu-.
Saya mimpi tentang sebuah dunia,
Di mana ulama - buruh dan pemuda,
Bangkit dan berkata - Stop semua kemunafikan,
Stop semua pembunuhan atas nama apa pun.Dan para politisi di PBB,
Sibuk mengatur pengangkutan gandum, susu dan beras,
Buat anak-anak yang lapar di tiga benua,
Dan lupa akan diplomasi.Tak ada lagi rasa benci pada siapa pun,
Agama apa pun, ras apa pun, dan bangsa apa pun,
Dan melupakan perang dan kebencian,
Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.Tuhan - Saya mimpi tentang dunia tadi,
Yang tak pernah akan datang.Soe Hoek Gie - 29 Oktober 1968 (CSD, terbitan LP3ES)